Program Kesehatan yang Terkait dalam Meningkatkan Status Kesehatan Ibu dan Anak
A. PEMELIHARAAN KESEHATAN PADA IBU
1. Pemeliharaan Kesehatan pada Remaja Calon Ibu
Menurut Adams dan Gullota (dalam Arro,1997), massa remaja meliputi usia antara 11–20 tahun. Sedangkan menurut Hurlock (1990), masa remaja terbagi menjadi m
asa remaja awal (13 – 16 tahun), dan masa remaja akhir (17 –
18 tahun). Perbedaan ini terjadi karena pada masa remaja akhir, individu telah
mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa.
Masa remaja mempunyai ciri sebagai berikut :
1.
Sebagai periode penting perubahan sikap perilaku
2.
Usia bermasalah
3.
Periode peralihan
4.
Usia yang menimbulkan kesulitan
5.
Periode perubahan
6.
Masa tidak realisis
7.
Masa mencari identitas
8.
Ambang masa dewasa.
Ada beberapa perubahan yang terjadi selama masa remaja,
meliputi :
Peningkatan emosional yang terjadi selama masa remaja awal
(masa strom dan stress) yang merupakan hasil perubahan fisik, terutama hormon.
Pada masa ini remaja diharap tidak lagi bertingkah seperti anak–anak, harus
lebih mandiri, dan bertanggung jawab.
Perubahan yang cepat secara fisik yang disertai kematangan
seksual. Perubahan ini terkadang membuat remaja merasa tidak yakin akan dirinya
sendiri, dan sangat berpengaruh terhadap konsep diri remaja.
Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan
dengan orang lain (tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis
kelamin yang sama, tetapi juga dengan lawan jenis dan orang dewasa). Remaja
diharapkan dapat mengarahkan ketertarikan mereka pada hal–hal yang lebih
penting.
Perubahan nilai, dimana apa yang dianggap penting pada
kanak–kanak menjadi kurang penting karena sudah mendekati dewasa.
Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi
perubahan yang terjadi. Disatu sisi remaja menginginkan kebebasan, tetapi
disisi lain takut dengan tanggung jawab yang menyertai kebebasan tersebut.
Periode remaja merupakan ‘’Window Opportunity’’, periode
yang tepat untuk menanamkan nilai–nilai, norma, dan kebiasaan yang baik agar
tidak mengalami masalah kesehatan di kemudian hari, dan menjadi manusia dewasa
yang sehat dan produktif. Beberapa masalah yang sering dialami oleh remaja dari
yang bersifat fisik antara lain anemia, kegemukan, mental–kejiwaan (gangguan
belajar), perilaku beresiko seperti merokok, hubungan seks pranikah,
penyalahgunaan NAPZA, hingga terjangkit HIV atau AIDS.
Oleh sebab itu, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi
remaja sangat penting untuk dimiliki. Kesehatan reproduksi remaja adalah suatu
keadaan dimana remaja dapat menikmati kehidupan seksualnya serta mampu
menjalani fungsi dan proses reproduksinya secara sehat dan aman. Pengetahuan
kesehatan yang penting untuk diketahui oleh remaja antara lain adalah tentang
tumbuh kembang remaja, kesehatan reproduksi remaja, penyakit menular seksual,
HIV atau AIDS, penyalah gunaan NAPZA, komunikasi dan konseling, pendidikan
keterampialan hidup sehat.
Penyebab utama kematian pada remaja perempuan usia 15–19
tahun adalah komplikasi kehamilan, persalinan, dan komplikasi keguguran. Remaja
usia 15–24 tahun memiliki angka tinggi untuk penderita penyakit menular
seksual.
Beberapa masalah pokok
dalam pengembangan kesehatan reproduksi remaja adalah :
1.
Melakukan advokasi untuk memperoleh dukungan
masyarakat dalam kesehatan reproduksi.
2.
Melibatkan remaja dalam aktivitas yang positif.
3.
Pelayanan klinik yang ramah bagi remaja.
4.
Memberikan informasi yang ramah bagi para
remaja.
5.
Kontrasepsi untuk remaja.
6.
HIV dan PMS bagi remaja.
7.
Memenuhi kebutuhan remaja sesuai tingkatan usia.
8.
Kehamilan dini dan kehamilan yang tidak
diinginkan.
9.
Pendidikan seksualitas berbasis sekolah.
10.
Mengembangkan keterampilan untuk menghadapi
kehidupan.
Pemerintah dan petugas kesehatan diharapkan memahami dan
peduli pada permasalahan–permasalahan kesehatan reproduksi remaja. Untuk
mengatasi masalah kesehatan remaja, perlu pendekatan yang adolescent friendly,
baik dalam menyampaikan informasi pelayanan kesehatan peduli remaja (PKPR),
yang diharapkan menyediakan pelayanan kesehatan sesuai dengan masalah dan
kebutuhan remaja.
2. Perkawinan yang
Sehat
Perkawinan merupakan ikatan yang suci, yang bertujuan untuk
meneruskan keturunan atau melangsungkan reproduksi, membentuk generasi yang
berkualitas, mencapai kebahagiaan, merupakan bagian dari ajaran agama, dan
menjadi dasar untuk membentuk keluarga yang sehat.
Mengingat rumah tangga adalah bagian terkecil dari kehidupan
sosial, maka rumah tangga adalah penentu keselamatan dan kesehatan kehidupan
masyarakat. Oleh karenanya, masing–masing anggota keluarga memiliki peranan
penting dalam mewujudkan kesehatan jiwa sesamanya, terutama suami atau istri
terhadap pasangan hidupnya, ayah, ibu dan terhadap anak–anaknya. Tentunya
sebelum suami atau istri menyediakan sarana kesehatan jiwa untuk pasangan hidup
dan anak–anaknya, ia harus mampu membuktikan bahwa dirinya memiliki jiwa yang
sehat.
Seseorang dikatakan memiliki jiwa yang sehat apabila mampu
berkomunikasi secara baik dengan sesamanya. Seseorang dikatakan berjiwa sehat
apabila anggota keluarga, tetangga, masyarakat umum, merasa tenang dengan
keberadaan dan perilakunya, orang lain tidak tersiksa dengan perkataan dan amal
perbuatannya. Salah satu tugas istri adalah bersikap baik terhadap suaminya.
Sehingga setiap saat suaminya memasuki rumah akan merasa ketenangan.
3. Keluarga Sehat
eluarga yang sehat tentunya harus dibentuk oleh
individu–individu yang sehat dalam keluarga tersebut. Dilihat dari aspek
kesehatan reproduksi, ada beberapa fase dalam keluarga yang dapat dilihat dari
skema pola perencanaan keluarga berikut :
a. Fase menunda atau mencegah kehamilan
Bagi pasangan suami istri dengan usia kurang dari 20 tahun
dianjurkan untuk menunda kehamilannya. Karena pada usia kurang dari 20 tahun
organ reproduksi belum matang sehingga beresiko tinggi untuk kehamilan,
persalinan, dan nifas, serta terjadi komplikasi.
b. Fase menjarangkan kehamilan
Pada periode usia istri antara 20–30/35 tahun, merupakan
periode usia paling baik untuk hamil, melahirkan, dengan jarak antara kehamilan
anak 2–4 tahun.
c. Fase menghentikan dan mengakhiri kehamilan atu kesuburan
Periode saat usia istri di atas 35 tahun, sebaiknya
mengakhiri kesuburan setelah mempunyai anak dengan jumlah cukup (disarankan 2
orang) karena jika terjadi kehamilan dan kelahiran pada usia ini, ibu mempunyai
resiko tinggi untuk terjadinya komplikasi obtetrik. Misalnya perdarahan,
pre-eklamsi, eklamsi, persalinan lama, atonia uteri, dan lain–lain. Pada usia
lebih tua juga mempunyai resiko untuk terjadi penyakit jantung, tekanan darah
tinggi, keganasan, dan kelainan metabolik.
4. Sistem Reproduksi
dan Masalahnya
Kesehatan reproduksi adalah kemampuan seorang wanita untuk
memanfaatkan alat reproduksi dan mengatur kesuburannya (fertilitas), dapat
menjalani kehamilan dan persalinan secara aman serta mendapatkan bayi tanpa
risiko apapun atau well health mother dan well born baby dan selanjutnya mengembalikan
kesehatan dalam batas normal. Dalam survei yang dilakukan oleh WHO, menetapkan
5 jenis ketentuan sebagai kriteria klasifikasi wanita yaitu kesehatan,
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, dan persamaan. Sadar akan keadaan demikian,
pemerintah dan diikuti oleh kalangan swasta telah mendirikan pusat-pusat
kesehatan untuk mendekatkan pelayanan terhadap masyarakat. Di samping itu
penyebaran Bidan di Desa merupakan gagasan pemerintah untuk menggantikan
peranan dukun yang masih dominan di tengah masyarkat, sehingga mendapatkan
pelayanan yang bermutu dan menyeluruh. Meskipun angka kematian ibu (AKI) dan
angka kematian anak (AKA) masih belum dapat diturunkan secara berarti. Keadaan
ini dapat berubah bila mengikutsertakan masyarakat menolong dirinya sendiri dalam
bidang kesehatan, dengan secara aktif mengambil bagian untuk memelihara
kesehatannya.
Di samping itu dalam pelayanan dan pertolongan persalinan
telah diupayakan dengan memakai sistem partograf WHO, sehingga ibu hamil dan
bersalin dikirimkan pada tingkat garis “waspada.” Keberhasilan dalam
pelaksanaan gagasan ini bergantung pada kemampuan dalam memberi pengawasan
selama hamil (antenatal) serta konsultasi gizi. Keluarga berencana juga
memegang peranan penting untuk dapat mengatur jarak kehamilan, mengatur jumlah
kehamilan (sehingga komplikasi dapat ditekan), dan meningkatkan usia kawin dan
hamil sampai mencapai masa reproduksi sehat.
Dengan demikian kesehatan reproduksi merupakan masalah vital
dalam pembangunan kesehatan. Kesehatan reproduksi tidak dapat diselesaikan
dengan jalan melakukan tindakan kuratif (pengobatan), tetapi merupakan masalah
masyarakat yang masih dapat diperbaiki. Indonesia dianggap telah berhasil untuk
mengatur kesehatan reproduksi melalui gerakan keluarga berencana. Melalui
penurunan tingkat kelahiran, ditambah makin meningkatnya kesehatan, AKI dapat
menurun secara berarti, sedangkan AKA dapat diturunkan menjadi 56/1.000
persalinan.
Meskipun demikian upaya untuk meningkatkan derajat kehidupan
wanita melalui perluasan lapangan kerja, meningkatkan pendidikan, dan persamaan
kewajiban dan hak, masih memerlukan perjuangan untuk dapat ikut serta
menurunkan angka kematian dan meningkatkan kesehatan wanita khususnya kesehatan
reproduksi. Di lain pihak yang mengecewakan adalah makin meningkatnya faktor
infeksi alat reproduksi, oleh karena terjadi semacam revolusi seksual yang
menjurus ke arah liberalisasi, dengan makin derasnya arus informasi pada era
globalisasi dunia. Infeksi mempunyai akibat yang menyedihkan pada kesehatan
reproduksi yang dapat berakhir dengan infertilitas (kemandulan) dan
meningkatnya kejadian kehamilan ektopik.
Agar tercapai kesehatan alat reproduksi sehingga dapat
menghasilkan generasi sehat rohani dan jasmani, perlu dilakukan berbagai upaya
pencegahan dan diagnosis dini, melalui pengobatan yang tepat dan berhasil guna.
Dapat dikatakan alat reproduksi adalah alat untuk prokreasi dan kreasi yang
diupayakan semaksimal mungkin sehingga tercapai well health mother for well
born baby.
Dengan tercapainya kesejahteraan masyarakat diharapkan juga
tercapai kesehatan reproduksi yang prima, dan dapat menghasilkan status
politik, sosial-ekonomi, budaya, ketahanan dan keamanan keluarga
(poleksosbudhankam) tinggi, yang sangat berpengaruh terhadap kualitas individu
(manusia) dan akhirnya secara berantai dapat meningkatkan kualitas masyarakat
dan pelayanan kesehatan masyarakat.
Dengan demikian melalui pembangunan diharapkan dapat
mengubah lingkaran kemiskinan menjadi lingkaran kesejahteraan, sehingga
kesehatan umum masyarakat dan kesehatan reproduksi dapat meningkatkan generasi
yang berkualitas. Secara rinci dapat dikemukakan bahwa pada masa remaja
ditekankan pada bagaimana menghindari bahaya infeksi alat reproduksi sehingga
terhindar dari komplikasi, masa reproduksi kesehatannya dapat dijaga dengan
memanfaatkan metode keluarga berencana, sehingga jumlah dan interval kehamilan
dapat diperhitungkan untuk meningkatkan kualitas reproduksi dan kualitas
generasi.
Pertolongan persalinan berorientasi pada “well health mother
for well born baby” melalui persalinan yang tidak menimbulkan trauma (tidak
membahayakan) dengan persalinan spontan, tindakan operasi ringan persalinan dan
seksio sesarea. Permintaan persalinan seksio sesarea (melalui operasi dinding
perut) akan meningkat, juga permintaan untuk KB dengan metode operasi wanita
(MOW) melalui teknik vasektomi. Pada masa menopause, pascamenopause, dan senium
penekanan ditujukan pada penyakit degenerasi, sehingga diagnosis dini sangat
penting.
5. Penyakit yang
Berpengaruh terhadap Kehamilan dan Persalinan, atau Sebaliknya
Kondisi yang mempengaruhi kehamilan dapat dibedakan menjadi
:
a. Penyulit kehamilan yang mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan janin.
Penyulit yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
janin hanya terjadi pada peristiwa kehamilan atau berhubungan dengan kehamilan.
Beberapa contohnya seperti hipertensi dalam kehamilan yang juga merupakan salah
satu indikasi terjadinya pre-eklampsia dan eklampsia, demam dalam kehamilan,
janin yang lahir sebelum waktunya baik abortus maupun preterm, perdarahan pada
kehamilan, janin gemelli, ketuban pecah dini, dan penyakit serta infeksi yang
lain yang berhubungan dengan kondisi kehamilan.
b. Penyakit atau keadaan alat kandungan yang dapat
mempengaruhi kehamilan, termasuk di dalamnya komplikasi kehamilan.
Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah penyakit-penyakit yang
mempunyai hubungan timbal balik terhadap peristiwa kehamilan. Penyakit tersebut
dapat memperberat kehamilan dan persalinan, demikian pula sebaliknya.
Menurut Departemen Kesehatan RI (1997), jika tidak
melaksanakan Ante Natal Care (ANC) sesuai aturan, dikhawatirkan akan terjadi
komplikasi-komplikasi yang terbagi menjadi tiga kelompok :
1). Komplikasi Obstetrik Langsung
Perdarahan
Perdarahan Obstetrik yang terjadi pada kehamilan trimester
ketiga dan yang terjadi setelah anak atau plasenta lahir pada umumnya adalah
perdarahan yang berat, dan jika tidak mendapat penanganan yang cepat bisa
mendatangkan syok yang fatal. Plasenta previa, solutio placenta, dan ruptura
uteri merupakan contoh dari perdarahan yang menjadi komplikasi dalam kehamilan.
Pre-eklampsia dan eklamsia
Pre-eklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan
dapat terjadi ante, intra, dan postpartum. Gejala-gejala klinik pre-eklampsia
dapat dibagi menjadi pre-eklampsia ringan dan pre-eklampsia berat.
Secara teoritik urutan-urutan gejala yang timbul pada
pre-eklampsia adalah edema, hipertensi, dan terakhir proteinuria, sehingga bila
gejala-gejala ini timbul tidak dalam urutan di atas dianggap bukan
pre-eklampsia. Dari semua gejala tersebut, timbulnya hipertensi dan proteinuria
merupakan gejala yang paling penting. Namun, sayangnya penderita seringkali
tidak merasakan perubahan ini. Bila penderita sudah mengeluh adanya gangguan
nyeri kepala, gangguan penglihatan, atau nyeri epigastrium, maka penyakit ini
sudah cukup lanjut.
Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita pre-eklampsia,
yang disertai dengan kejang menyeluruh dan koma. Sama halnya dengan
pre-eklampsia, eklampsia dapat timbul pada ante, intra, dan postpartum.
Kelainan Letak (Lintang/Sungsang)
Letak lintang adalah bila sumbu memanjang janin menyilang
sumbu memanjang ibu secara tegak lurus atau mendekati 90 derajat. Angka
kejadian letak lintang berkisar antara 0,5-2%.
Letak sungsang adalah janin yang letaknya memanjang
(membujur) dalam rahim, kepala berada di fundus dan bokong di bawah.
Hidramnion
Kehamilan dengan jumlah air ketuban lebih dari dua liter.
Keadaan ini mulai tampak pada trimester ketiga, dapat terjadi secara
perlahan-lahan atau sangat cepat.
Ketuban pecah dini
Keluarnya cairan berupa air dari vagina setelah kehamilan
berusia 22 minggu. Ketuban dinyatakan pecah dini jika terjadi sebelum proses
persalinan berlangsung. Pecahnya selaput ketuban dapat terjadi pada kehamilan
pretem sebelum kehamilan 37 minggu maupun kehamilan aterm.
2). Komplikasi Obstetri Tidak Langsung
Penyakit jantung
Penyakit jantung memberi pengaruh tidak baik pada kehamilan
dan janin dalam kandungan. Apabila ibu menderita hipoksia dan sianosis, hasil
konsepsi dapat menderita pula dan mati, kemudian disusul oleh abortus. Apabila
konsepsinya dapat hidup terus, anak dapat lahir premature atau lahir cukup
bulan akan tetapi dengan berat badan rendah (dismaturitas). Selain itu janin
bisa menderita hipoksia dan gawat janin dalam persalinan, sehingga neonatus
lahir mati atau dengan nilai APGAR rendah. Ditemukan komplikasi prematuritas
dan BBRL pada penderita penyakit jantung dalam kehamilan lebih sering terjadi
pada ibu dengan volume plasma pada usia kehamilan 32 minggu dan partus kala I
yang lebih rendah. Juga nifas yang merupakan masa yang berbahaya dan mengancam
keselamatan ibu.
Tuberculosis
Penyakit ini tidak berpengaruh secara langsung terhadap
janin dan tidak memberikan penularan selama kehamilan. Janin baru akan tertular
setelah dilahirkan. Bila TBC sudah berat, dapat menurunkan kondisi tubuh ibu
hamil, tenaga dan termasuk ASI ikut berkurang, bahkan ibu dianjurkan untuk
tidak memberikan ASI kepada bayinya
secara langsung.
Anemia
Pengaruh anemia terhadap kehamilan antara lain adalah dapat
menurunkan daya tahan ibu hamil sehingga ibu mudah sakit, menghambat
pertumbuhan janin sehingga bayi lahir dengan berat badan rendah dan persalinan
prematur.
Malaria
Bahaya yang mungkin terjadi pada kehamilan antara lain
abortus, kematian janin dalam kandungan, dan persalinan premature.
Diabetes Melitus
Pengaruh terhadap kehamilan tergantung pada berat ringannya
penyakit, pengobatan, dan perawatannya. Pengobatan diabetes melitus menjadi
lebih sulit karena pengaruh kehamilan. Kehamilan akan memperberat diabetes
mellitus dan memperbesar kemungkinan timbulnya komplikasi seperti koma.
3). Komplikasi yang tidak berhubungan dengan obstetrik
Contoh dari komplikasi yang tidak berhubungan dengan
obstetrik adalah cedera akibat kecelakaan, baik akibat kendaraan, keracunan,
maupun kebakaran.
6. Sikap dan Perilaku
pada Masa Kehamilan dan Persalinan
Perubahan perilaku pada ibu hamil merupakan hal wajar karena
produksi hormon progesteronnya sedang tinggi. Hal inilah yang mempengaruhi
banyak hal, termasuk psikis ibu. Perubahan hormon yang terjadi pada ibu hamil
sebenarnya sama persis dengan perubahan hormon pada wanita yang sedang
mengalami siklus haid, perubahan hormon yang terjadi tidak selamanya akan
mempengaruhi psikis ibu hamil. Ada juga yang perilakunya tidak berubah. Hal
ini, disebabkan kerentanan psikis setiap orang yang berbeda-beda. Daya tahan
psikis dipengaruhi oleh kepribadian, pola asuh sewaktu kecil, atau kemauan ibu
untuk belajar menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Biasanya ibu yang
menerima atau bahkan sangat mengharapkan kehamilan akan lebih mudah
menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan. Secara fisik dan psikis, mereka
lebih siap. Berbeda dari ibu yang tidak siap, seperti karena kehamilannya tidak
diinginkan, umumnya merasakan hal-hal yang lebih berat. Begitu pula dengan ibu
yang sangat memperhatikan estetika tubuh. Dia akan merasa terganggu dengan
perubahan fisik yang terjadi selama kehamilan. Seringkali ibu sangat gusar
dengan perutnya yang semakin gendut, pinggul lebih besar, payudara membesar,
rambut menjadi kusam, dan sebagainya. Tentu hal ini akan semakin membuat psikis
ibu menjadi tidak stabil. Perubahan psikis umumnya lebih terasa di trimester
pertama kehamilan. Kala itu pula, ibu masih harus menyesuaikan diri dengan
berbagai perubahan hormon yang terjadi. Lalu berangsur hilang di trimester
kedua dan ketiga karena ibu sudah bisa menyesuaikan dirinya.
Sikap dan perilaku ibu pada masa persalinan antara lain :
1.
Nyeri, tegang, mulas-mulas, dan mengejan.
2.
Tak sabar untuk segera menjenguk buah hati.
3.
Mencoba berbagai posisi selama persalinan dan
kelahiran bayi.
4.
Minum cairan dan makan makanan ringan bila ia
menginginkannya.
5.
Mengikuti praktek-praktek tradisional yang tidak
memberi pengaruh yang merugikan.
6.
Ingin segera memeluk bayinya segera setelah
lahir.
7.
Akan memulai pemberian ASI dalam 1 jam pertama
setelah kelahiran bayi.
8.
Ingin selalu berdekatan dengan bayinya (rawat
gabung).
9.
Bahagia karena harapannya untuk memiliki anak
terlaksana.
10.
Cemas dan takut terhadap bahaya, pengalaman yang
tidak menyenangkan dan dan tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi.
7. Pemeliharaan dan Pemeriksaan Kesehatan Ibu
Hamil
WHO sejak tahun 1990 elah meluncurkan strategi Making
Pregnency Safer (MPS), yang salah satu programnya adalah menempatkan safe
motherhood sebagai prioritas utama dalam rencana pembangunan nasional dan
internasional. Salah satu upaya untuk menurunkan AKI adalah melalui empat pilar
safe motherhood dengan intervensi sebagai berikut :
Mengurangi kemungkinan seorang perempuanmenjadi hamil dengan
upaya KB.
Mengurangi kemungkinan seorang perempuan hamil mengalami
komplikasi obstetrik dalam kehamilan dan memastikan bahwa komplikasi dideteksi
sedini mungkin serta ditandai secara memadai melalui pelyanan antenatal.
Persalinan yang bersih dan aman : memastikan bahwa semua
penolong persalinan mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan alat untuk
menolong persalinan yang aman dan bersih,serta memberiakan pelayanan nifas bagu
ibu dan bayi.
Mengurangi kemungkinan komplikasi persalinan yang berakhir
dengan kematian atau kesakitan melalui PONES dan PONEK.
Kebijakan program kunjungan pemeriksaan kehamilan dilakukan
paling sedikit 4 kali selama kehamilan, sesuai dengan anjuran WHO, yakni :
1.
Satu kali pada trimester pertama
2.
Satu kali pada trimester kedua
3.
Duakali pada trimester ketiga
Pelayanan atau asuhan standart yang dilakukan pada pemeriksaan
kehamilan adalah 7 T yaitu :
1.
Timbang berat badan
2.
Ukur tekanan darah
3.
Ukur tinggi fundus uteri
4.
Pemberian imunisasi TT lengkap
5.
Pemberian tablet Fe selama kehamilan
6.
Tes terhadap penyakit menular seksual
7.
Temu wicara dalam rangka rujukan
Dalam upaya mempercepat penurunan AKI dan AKN, pada tanggal
26 Januari 2012 Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan dr. Ratna Rosita,
MPHM telah meluncurkan program Expanding Maternal and Neonatal Survival (EMAS).
Program EMAS merupakan program hasil kerja sama antara Pemerintah Indonesia
dengan lembaga donor USAID, yang bertujuan untuk menurunkan AKI dan AKN di
Indonesia sebesar 25%. Untuk mencapai target tersebut, program EMAS akan
dilaksanakan di provinsi dan kabupaten dengan jumlah kematian yang besar, yaitu
Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi
Selatan, dimana pada tahun pertama akan dilaksanakan pada 10 kabupaten.
Karena berdasarkan data Kementerian Kesehatan sekitar 52,6%
dari jumlah total kejadian kematian ibu di Indonesia berasal dari enam provinsi
tersebut. Demikian pula dengan kematian neonatal, sekitar 58,1% dari jumlah
total nasional juga “disumbangkan” oleh keenam provinsi tersebut. Dari hasil
analisis, diyakini bahwa percepatan penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan
Angka Kematian Neonatal (AKN) di Indonesia akan dapat diakselerasi apabila
kematian ibu dan kematian neonatal di enam provinsi tersebut dapat dikurangi
secara signifikan.
Upaya penurunan AKI dan AKN melalui program EMAS akan
dilakukan dengan cara:
Meningkatkan kualitas pelayanan emergensi obstetri dan bayi
baru lahir minimal di 150 Rumah Sakit (PONEK) dan 300 Puskesmas/Balkesmas
(PONED).
Memperkuat sistem rujukan yang efisien dan efektif antar
Puskesmas dan Rumah Sakit.
Dalam pelaksanaannya di lapangan, upaya tersebut dilakukan
dengan pendekatan “Vanguard”, yaitu :
Memilih dan memantapkan sekitar 30 RS dan 60 Puskesmas yang
sudah cukup kuat agar berjejaring dan dapat membimbing jaringan Kabupaten yang
lain.
Melibatkan RS/RB swasta untuk memperkuat jejaring sistem
rujukan di daerah.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan mengharapkan agar
program ini dapat berjalan dengan sukses dan pada akhirnya nanti benar-benar
dapat memberi dampak positif secara nasional dalam percepatan pencapaian target
MDGs 4 dan 5.
8. Pertolongan
Persalinan di Rumah
Pertolongan persalinan di rumah, ibu harus memenuhi kaidah
pilar safe motherhood, yaitu persalinan bersih dan aman serta ditolong oleh
tenaga kesehatan yang terampil. Pertolongan persalinan di rumah memiliki
keuntungan psikologis bagi ibu bersalin.
Faktor yang mempengaruhi pemilihan persalinan di rumah
ssendiri antara lain melahirkan di rumah sendiri ternyata jauh lebih aman,
hemat, dan bermanfaat. Dengan menjalani persalinan di rumah kemungkinan
tertukarnya bayi bisa dihindari. Memang, tidak semua rumah sakit bisa memberi
jaminan tak mungkin ada kasus bayi tertukar. Ini sangat tergantung dari kondisi
dan tingkat akurasi pengindetifikasian bayi di masing-masing rumah sakit.
Apalagi selain tidak rapinya pengidentifikasian, kesibukan para tenaga medis
yang terbatas terkadang masih memungkinkan adanya bayi tertukar tanpa
sepengetahuan ibunya. Belum lagi kalau sistem pengamanan rumah sakit kurang
jeli, tak mustahil bisa terjadi penculikan bayi.
Faktor lain adalah kenyataan tak terbantah bahwa rumah sakit
adalah sumber penyakit, sehingga besar kemungkinan sang bayi terjangkiti
infeksi nosokomial. Selain itu ada faktor psikologis yang seringkali dirasakan
oleh ibu bersalin di rumah sakit. Yakni adanya unsur “diskriminasi” perlakuan
rumah sakit meski ini juga konsekuensi pilihannya. Semisal, sejak awal masuk
rumah sakit, ibu dan bayi telah dibeda-bedakan menurut kelas-kelas perawatannya
kelak. Apalagi sebagai konsekuensi logis dari lembaga jasa pelayanan bagi orang
banyak, secara tak langsung perlakuan pihak rumah sakit bisa dikatakan kurang
personal atau tidak “ramah”, lantaran kebanyakan ibu dan bayi diperlakukan
sekedar sebagai “nomor kamar” saja.
Meskipun demikian, pada pertolongan persalinan dirumah,
perlu diwaspadai adanya resiko infeksi karena paparan lingkuangan yang tidak
bersih, alas persalinan yang tidak bersih, serta alat dan tangan penolong tidak
bersih karena mobilisasi dari pusat pelayanan kesehatan kerumah ibu. Oleh
karena itu, untuk melakukan pertolongan persalinan dirumah harus ada persiapan
yang tepat,baik persiapan penolong, persiapan tempat, alat dan barang yang
dibawa penolong, persiapan tempat, lingkungan, dan keluarga.
9. Asuhan Masa Nifas dan Pasca Salin
Masa nifas dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir
ketika alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas
berlangsung kira-kira 6-8 minggu. Pada masa nifas terjadi perubahan psikologis,
yaitu : perubahan fisik ibu, involusio uterus dan pengeluaran lokhea, laktasi,
perubahan berbagai sistem tubuh, perubahan psikologis ibu.
Tujuan asuhan masa nifas :
1.
Menjaga kesehatan ibu dan bayinya, baik fisik
maupun psikologis
2.
Melaksanakan deteksi secara komprehensif,
mendeteksi masalah, mengobati atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu
maupun bayinya.
3.
Memberikan pendidikan kesehatan tentang
perawatan kesehatan diir, nutrisi, keluarga berencana, menyusui, pemberian
imunisasi kepada bayinya dan perawatan bayi sehat.
4.
Memberikan pelayanan keluarga berencana.
5.
Asuhan masa nifas dan pasca salin sangat penting
karena pada periode ini merupakan masa krisis, baik bagi ibu maupun bayinya.
10. Rujukan
Rujukan dalam pelayanan kebidanan adalah sebagai tindakan
pelimpahan tanggung jawab timbal balik atas kasus atau masalah kebidanan yang
timbul baik secara vertikal (dari satu unit ke unit yang lebih lengkap /Rumah
Sakit) maupun horizontal (dari satu bagian ke bagian lain dalam satu unit)
(Muchtar, 1977).
Rujukan dapat dilakukan bidan ke Puskesmas dengan fasilitas
riwayat inap, rumah sakit bersalin, dan rumah sakit umum. Bidan harus mempunyai
informasi tentang pelayanan yang tersedia di tempat rujukan, ketersediaan
pelayanan purna waktu, biaya pelayanan dan waktu serta jarak tempuh ke tempat
rujukan. Salah satu hal faktor pendukung kematian ibu adalah adanya 3 keterlambatan yaitu keterlambatan
memutuskan untuk merujuk, terlambat sampai ke tempat rujukan, dan terlambat
ditangani di tempat rujukan.
Tujuan rujukan antara lain :
1.
Setiap penderita mendapat perawatan dan
pertolongan yang sebaik-baiknya.
2.
Menjalin kerjasama dengan cara pengiriman
penderita atau bahan laboratorium dari unit yang kurang lengkap ke unit yang
lengkap fasilitasnya.
3.
Menjalin pelimpahan pengetahuan dan keterampilan
(transfer knowledge and skill) melalui pendidikan dan latihan antara pusat
pendidikan dan daerah perifer (Muchtar, 1977).
4.
Memberikan pelayanan kesehatan pada penderita
dengan tepat dan cepat
5.
Menggunakan fasilitas kesehatan seefisien
mungkin
6.
Mengadakan pembagian tugas pelayanan kesehatan
pada unit-unit kesehatan, sesuai dengan lokasi dan kemampuan unit-unit tersebut
Rujukan dan Pelayanan Kebidanan
Kegiatan ini antara lain berupa :
1.
Pengiriman orang sakit dari unit kesehatan
kurang lengkap ke unit yang lebih lengkap.
2.
Rujukan kasus-kasus patologik pada kehamilan,
persalinan, dan nifas
3.
Pengiriman kasus masalah reproduksi manusia
lainnya, seperti kasus-kasus ginekologi atau kontrasepsi yang memerlukan
penanganan spesialis.
4.
Pengiriman bahan untuk pemeriksaan laboratorium
dari unit kesehatan yang kecil ke unit kesehatan yang lebih mampu dam
pengiriman hasil kembali kepada unit kesehatan yang mengiriminya.
Pelimpahan Pengetahuan dan Keterampilan
Kegiatan ini antara lain :
1.
Pengiriman tenaga-tenaga ahli ke daerah perifer
untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan melalui ceramah, konsultasi
penderita, diskusi kasus, dan demonstrasi.
2.
Pengiriman petugas pelayanan kesehatan daerah ke
rumah sakit yang lebih lengkap dengan tujuan menambah pengetahuan dan
keterampilan.
Rujukan Informasi Medis
Kegiatan ini antara lain berupa :
1.
Membalas secara lengkap data-data medis
penderita yang dikirim dan advis rehabilitas kepada unit yang mengirim.
2.
Menjalin kerjasama pelaporan data-data
medis(Muchtar, 1977).
Dalam membina sistem rujukan ini, perlu ditentukan beberapa
hal :
Regionalisasi
Adalah pembagian wilayah sistem rujukan. Pembagian wilayah
ini didasarkan atas pembagian wilayah secara administratif, tetapi perlu
didasarkan atas lokasi atau mudahnya sistem rujukan itu dicapai. Hal itu menjaga
agar pusat sistem rujukan mendapat arus penderita secara merata.
Penyaringan (Screening) oleh tiap tingkat unit kesehatan.
Tiap tingkat unit kesehatan diharapkan melakukan penyaringan terhadap penderita
yang hendak dislaurkan ke dalam sistem rujukan. Penderita yang dapat dilayani
oleh unit kesehatan tersebut tidak perlu dikirim ke unit lain yang lebih mampu.
Kemampuan unit kesehatan tergantung pada macam petugas dan
peralatannya. Walaupun demikian, diharapkan mereka dapat melakukan
keterampilan-keterampilan tertentu. Khususnya dalam perawatan ibu dijabarkan
keterampilan yang masing-masing diharapkan dari unit kesehatan, beserta
petugasnya.
Ketimpangan yang sering terjadi di masyarakat awam Indonesia
adalah pemahaman tentang alur rujukan ini sangat rendah sehingga sebagian
mereka tidak mendapatkan pelayanan yang sebagaimana mestinya. Masyarakat
kebanyakan cenderung mengakses pelayanan kesehatant terdekat atau mungkin
paling murah tanpa mempedulikan kompetensi institusi ataupun operator yang
memberikan pelayanan. Hal ini merupakan salah satu akibat tidak berjalannya
sistem kesehatan di Indonesia.
Pelaksanaan sistem rujukan di Indonesia telah diatur dengan
bentuk bertingkat atau berjenjang, yaitu pelayanan kesehatan tingkat pertama,
kedua, dan ketiga, dimana dalam pelaksanaannya tidak berdiri sendiri-sendiri,
namun berada di suatu sistem dan saling berhubungan. Apabila pelayanan
kesehatan primer tidak dapat melakukan tindakan medis tingkat primer, maka
tanggung jawab diserahkan ke tingkat pelayanan di atasnya, demikian seterusnya.
Apabila seluruh faktor pendukung (pemerintah, teknologi,
transportasi) terpenuhi maka proses ini akan berjalan dengan baik dan
masyarakat awam akan segera tertangani dengan tepat. Sebuah penelitian yang
meneliti tentang sistem rujukan menyatakan bahwa beberapa hal yang dapat
menyebabkan kegagalan proses rujukan adalah tidak ada keterlibatan pihak
tertentu yang seharusnya terkait, keterbatasan sarana, tidak ada dukungan
peraturan.
Hasil penelitian Murray dan Pearson bahwa penerapan sistem
rujukan merupakan elemen penting dalam menyukseskan program Safe Motherhood di
negara-negara berkembang. Sistem rujukan harus dipertimbangkan sebagai komponen
penting dari sistem kesehatan secara keseluruhan. Dengan demikian, sistem
rujukan obstetri dapat digunakan sebagai tolok ukur dalam menilai sistem
pelayanan kesehatan ibu. Agar sistem rujukan maternal dapat berjalan dengan
baik, dibutuhkan penyusunan strategi rujukan sesuai dengan sistem kesehatan dan
kondisi masyarakat setempat.
Faktor-faktor penyebab rujukan antara lain :
1.
Riwayat bedah sesar
2.
Perdarahan pervaginam
3.
Persalinan kurang bulan
4.
Ketuban pecah disertai dengan mekonium yang
pecah
5.
Ketuban pecah lebih dari 24 jam
6.
Ketuban pecah pada persalinan kurang bulan
7.
Ikterus
8.
Anemia berat
9.
Tanda /gejala infeksi
10.
Pre-eklampsia /Hipertensi dalam kehamilan
11.
Tinggi fundus 40 cm/lebih
12.
Gawat janin
13.
Primapara dalam fase aktif kala I persalinan dan
kepala janin masuk 5/5
14.
Presentasi bukan belakang kepala
15.
Presentasi ganda (mejemuk)
16.
Kehamilan ganda (gemelli)
17.
Tali pusat menumbung
18.
Syok
(Asuhan Persalinan Normal 2007)
11. Akses Pelayanan Kesehatan Ibu
AKI di Indonesia masih relatif lebih tinggi jika
dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN. Risiko kematian ibu karena
melahirkan di Indonesia adalah 1 dari 65, dibandingkan dengan 1 dari 1.100 di
Thailand. MDG menargetkan penurunan AKI sebesar tiga perempat antara 1990
sampai 2015. Namun upaya ini menghadapi berbagai tantangan yang cukup berat,
seperti transisi demografi, desentralisasi kesehatan, pelayanan publik, dan
pendanaan. Sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan bahwa jumlah penduduk
Indonesia 206 juta jiwa. Pada tahun 2015, jumlah penduduk Indonesia,
diperkirakan meningkat menjadi 242 juta jiwa. Dengan kata lain, kebutuhan
pelayanan kesehatan juga akan meningkat.
Pelayanan kesehatan merupakan tantangan berikutnya yang
perlu ditangani. Termasuk di dalamnya adalah kualitas pelayanan yang disediakan
oleh pemerintah. Menurunkan kesakitan dan kematian ibu telah menjadi salah satu
prioritas utama dalam pembangunan sektor kesehatan sebagaimana tercantum dalam
Propenas. Kegiatan-kegiatan yang mendukung upaya ini antara lain meningkatkan
pelayanan kesehatan reproduksi, meningkatkan pemberantasan penyakit menular dan
imunisasi, meningkatkan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan, menanggulangi
KEK, dan menanggulangi anemia pada wanita usia subur dan pada masa kehamilan,
melahirkan, dan nifas.
Salah satu upaya pemerintah adalah program Kehamilan Aman.
Mengacu pada Indonesia Sehat 2010, telah dicanangkan strategi Making Pregnancy
Safer (MPS) atau Kehamilan yang Aman sebagai kelanjutan dari program Safe
Motherhood, dengan tujuan untuk mempercepat penurunan kesakitan dan kematian
ibu dan bayi baru lahir. MPS terfokus pada pendekatan perencanaan sistematis
dan terpadu dalam intervensi klinis dan sistem kesehatan serta penekanan pada
kemitraan antar institusi pemerintah, lembaga donor, dan peminjam, swasta,
masyarakat, dan keluarga.
Strategi MPS memiliki tiga pesan kunci, yaitu setiap
persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, setiap komplikasi obstetrik
dan neonatal mendapatkan pelayanan yang memadai, dan setiap wanita usia subur
mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan
penanganan komplikasi keguguran. Perhatian khusus diberikan pada penyediaan
pelayanan yang memadai dan berkelanjutan dengan penekanan pada ketersediaan
penolong persalinan terlatih. Aktivitas masyarakat ditekankan pada upaya untuk
menjamin bahwa wanita dan bayi baru lahir memperoleh akses terhadap pelayanan.
Sasaran utama pada MPS diberikan kepada kelompok masyarakat berpendapatan
rendah, baik di perkotaan dan pedesaan serta masyarakat di daerah terpencil.
Selain Program MPS, sebagai upaya menjamin akses pelayanan
persalinan yang dilakukan oleh dokter atau bidan dalam rangka menurunkan AKI
dan AKB, maka pada tahun 2011 Kementrian Kesehatan meluncurkan upaya terobosan
berupa Jaminan Persalinan (Jampersal).
Jampersal dimaksudkan untuk menghilangkan hambatan finansial
bagi ibu hamil untuk mendapatkan jaminan persalinan, yang di dalamnya termasuk
pemeriksaan kehamilan, pelayanan nifas termasuk KB pasca persalinan, dan
pelayanan bayi baru lahir. Dengan demikian, kehadiran Jampersal diharapkan
dapat mengurangi terjadinya Tiga Terlambat tersebut sehingga dapat
mengakselerasi tujuan pencapaian MDGs, khusunya MDGs 4 dan 5.
Pada prinsipnya, Jampersal adalah terobosan kebijakan baru
pelaksanaan program Jamkesmas tahun 2010. Penyelenggaraan Jamkesmas dan
Jampersal menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dengan demikian,
penyelenggaraan Jamkesmas tahun 2011 mengalami beberapa penyempurnaan, sebagai
berikut :
Aspek Kepesertaan
Kepesertaan Jamkesmas 2011 mengacu pada data PPLS (BPS,
2008) berjumlah 60.4juta jiwa, namun jumlah sasaran Jamkesmas adalah tetap 76.4
juta jiwa sebagaimana tertuang dalam RPJM
Jumlah sasaran (kuota) peserta Jamkesmas per kabupaten/ kota
adalah tetap sama dengan tahun 2010, by name by address ditetapkan denga SK
Bupati/ Walikota.
Untuk kepesertaan Jamkesmas dari kelompok masyarakat miskin
(maskin) penghuni lapas/ rutan, maskin penghuni panti, maskin psaca tanggap
darurat akibat bencana, gelandangan, pengemis, anak terlantar, bayi baru lahir
dari keluarga maskin, pengaturannya mengacu pada SK Menkes 1185/ tahun 2009
Seluruh peserta program keluarga harapan (PKH) menjadi
peserta Jamkesmas, termasuk peserta PKH yang masih belum terdaftar dalam
database Jamkesmas
Ibu hamil dan melahirkan yang tidak memiliki jaminan
kesehatan, menjadi penerima manfaat Jaminan Persalinan
Aspek Pelayanan
Manfaat jamkesmas yang diberikan kepada peserta bersifat
komprehensif (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif) sesuai indikasi
medis individu / perorangan atau disebut sebagai upaya kesehatan perorangan
(UKP).
Pelayanan promotif dan preventif diberikan pada saat
pelayanan konsultasi dokter atau tenaga kesehatan yang berkompeten, baik di
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama maupun Tingkat Lanjutan
Pelayanan kesehatan dasar diberikan di Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama milik pemerintah (Puskesmas dan jaringannya)
Pelayanan kesehatan rujukan diberikan di Fasilitas Kesehatan
Tingkat Lanjutan (Rumah Sakit) milik pemerintah maupun swasta
Pelayanan obat Jamkesmas, diarahkan ke Rumah Sakit supaya
mengacu Formularium Obat sesuai SK Menkes Nomor 1455/2009
Penyediaan obat, vaksin, AMHP dan darah tidak dibebankan
kepada peserta Jamkesmas, karena seluruh biaya sudah termasuk dalam paket
pembayaran INA-CBGs kecuali AMHP tertentu sebagaimana ditetapkan dalam Surat
Edaran Dirjen BUK (Bina Upaya Kesehatan), dan obat HOT yang dapat diklaimkan
secara terpisah.
Perluasan jaringan fasilitas kesehatan dengan lebih
mendorong keikutsertaan fasilitas kesehatan swasta untuk melakukan Perjanjian
Kerja Sama (PKS) dengan Tim Pengelola Jamkesmas Kabupaten/Kota
Aspek Pendanaan
Pembayaran untuk pelayanan Jamkesmas dilakukan dengan cara :
Pembayaran di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dilakukan
denga cara klaim, didasarkan atas Peraturan Daerah Tarif yang berlaku setempat
Pembayaran di Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan dilakukan
dengan cara klaim, didasarkan atas paket INA-CBGs
Aspek Pengorganisasian
Pengorganisasian dalam penyelenggaraan Jamkesmas adalah
dengan dibentuk tim yang berada pada Tingkat Pusat, Propinsi, dan
Kabupaten/Kota
Tim Koordinasi yang bersifat lintas sektor dan berfungsi
koordinatif untuk pengambilan kebijakan setempat dengan tetap mengacu pada
kebijakan pusat
Tim Pengelola yang bersifat lintas program yang melakukan
pengelolaan langsung Jamkesmas
Ada empat strategi utama bagi upaya penurunan kesakitan dan
kematian ibu. Pertama, meningkatkan akses dan cakupan pelayanan kesehatan ibu
dan bayi baru lahir yang berkualitas dan cost effective. Kedua, membangun
kemitraan yang efektif melalui kerja sama lintas program, lintas sektor, dan
mitra lainnya. Ketiga, mendorong pemberdayaan wanita dan keluarga melalui
peningkatan pengetahuan dan perilaku sehat. Keempat, mendorong keterlibatan
masyarakat dalam menjamin penyediaan dan pemanfaatan pelayanan ibu dan bayi
baru lahir.
Masih tingginya AKI maupun masih rendahnya jumlah ibu yang
melakukan persalinan di fasilitas kesehatan disebabkan kendala biaya sehingga
diperlukan kebijakan terobosan untuk meningkatkan persalinan yang ditolong
tebaga kesehatan di fasilitas kesehatan.
B. PELAYANAN
KESEHATAN PADA ANAK
1. Pelayanan
Kesehatan Bayi Baru Lahir
Masa perinatal dan neonatal merupakan masa yang kritis bagi
kehidupan bayi. Dua pertiga kematian bayi terjadi dalam 4 minggu setelah
persalinan, dan 60% kematian bayi baru lahir terjadi dalam waktu 7 hari setelah
lahir. Faktor yang dapat menyebabkan kematian perinatal antara lain perdarahan,
hipertensi, infeksi, kelahiran preterm atau bayi berat lahir rendah, asfiksia,
dan hipotermia.
Penanganan bayi baru lahir yang kurang baik dapat
menyebabkan hipotermi, cold stress, yang selanjutnya dapat menyebabkan
hipoksemia, hipoglikemia, dan mengakibatkan kerusakan otak. Akibat selanjutnya
adalah perdarahan otak, shock, dan keterlambatan tumbuh kembang.
Pelayanan Kesehatan Perinatal terhadap Bayi Baru Lahir
Pemeriksaan kesehatan bayi
Pemantauan tanda-tanda vital
Pengenalan bayi baru lahir tidak sehat
Penanganan gawat darurat
Pemberian kolostrum dan ASI eksklusif
Pengaturan suhu tubuh
Perawatan luka tali pusat
Pelaksanaan rawat gabung
Pelaksanaan rujukan
Penatalaksanaan kelainan-kelainan perinatal seperti asfiksia
neonatorum, tetanus, neonatorum, dan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
2. Pelayanan
Kesehatan Anak Balita
Masa krisis proses tumbuh kembang anak adalah masa dibawah
usia 5 tahun ( balita ) lebih dari 8 juta anak usia balita meninggal setiap
tahun. Hampir 90% kematian ini disebabkan 6 kondisi, yakni : penyebab neonatal,
pneumonia, diare, malaria, campak, dan HIV/AIDS. Oleh Karena itu, salah satu
tujuan dari MDGs 2015 adalah menurun
angka kematian anak.
Secara umum, seluruh anak didunia ini mempunyai sifat lugu,
aktif, mempunyai rasa ingin tahu, ketergantungan pada orang lain, rawan, dan
penuh dengan harapan.
Dalam menjaga pertumbuhan dan perkembangannya, semua faktor
diatas harus menjadi perhatian yang seksama agar tumbuh kembang anak tidak
mengalami gangguan. Masa balita merupakan masa terbentuknya dasar kepribadian
manusia, kemampuan pengindraan, berfikir, keterampilan berbahasa dan berbicara,
bertingkah laku sosial dan lain sebagainya. Oleh karena itu, perhatian pada
masa balita ini harus;ah lebih seksama dan bijaksana.
Ada dua faktor yang mempengaruhi proses tumbuh kembang
optimal seorang anak, yaitu :
Faktor dalam, yaitu dari dalam anak itu sendiri, baik bawaan
maupun diperoleh yang merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses
tumbuh-kembang anak.
Faktor luar (lingkungan), yang secara garis besar dibagi
menjadi :
1) Lingkungan sebelum
anak lahir (prenatal), meliputi gizi ibu hamil, obat-obatan, penyakit ibu
(infeksi TORCH), stress, posisi janin, gangguan hormone, dan lain-lain.
2) Lingkungan pada
saat anak lahir (perinatal), meliputi persalinan lama, persalinan macet,
persalinan dengan pertolongan (vakum ekstraksi, forsep, seksio sesaria, dan
lain-lain).
3) Lingkungan setelah anak lahir (postnatal), meliputi gizi
anak, penyakit (infeksi), gangguan hormon, lingkungan rumah, kebersihan,
stress, kasih sayang, stimulasi, adat-istiadat, agama, dan stabilitas rumah
tangga.
Di samping itu, secara menyeluruh ada beberapa factor yang
sangat erat hubungannya dengan pertumbuhan dan perkembangan balita, yaitu :
1). Keluarga Berencana
Dalam mempersiapkan anak yang berkualitas, sejak dari mulai
terjadi pembuahan sampai tumbuh menjadi dewasa haruslah dilakukan pemeliharaan
dan penjagaan yang seksama agar tidak terjadi kegagalan dalam proses tumbuh
kembangnya. Faktor anak selama dalam kandungan akan sangat memengaruhi dalam
proses tumbuh kembang anak di kemudian hari.
Dari hasil penelitian didapat hasil bahwa angka kematian
bayi dan anak lebih rendah apabila kelahiran bayi tersebut mempunyai jarak yang
wajar. Seorang bayi yang dilahirkan dengan jarak kurang dari 2 tahun akan
mempunyai kemungkinana meninggal 76% lebih tinggi dibandingkan dengan mereka
yang mempunyai jarak kelahiran 2–3 tahun. Kemungkinan resiko kematian ibu
menjadi 200% lebih tinggi bila dibandingkan dengan mereka yang mempunyai jarak
kelahiran lebih dari 4 tahun.
2). Pemberian kebutuhan nutrisi yang baik
Dalam pertumbuhan dan perkembangan fisik seorang anak,
pemberian makanan yang bergizi mutlak sangat diperlukan. Anak dalam pertumbuhan
dan perkembangannnya mempunyai beberapa fase yang sesuai dengan umur sianak,
yaitu fase pertumbuhan cepat dan fase pertumbuhan lambat. Bila kebutuhan ini
tidak dapat dipenuhi, maka akan terjadi gangguan gizi pada anak tersebut, yang
mempunyai dampak dibelakang hari baik bagi pertumbuhan dan perkembangan fisik
anak tersebut maupun gangguan intelejensi.
3). Penyakit Muntah–diare
Penyakit ini paling sering menyerang balita, dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu infeksi pada saluran cerna, intoleransi
pada makanan yang diberikan, dan infeksi lainnya diluar saluran cerna. Umumnya
penyakit ini mempunyai dampak yang lebih buruk bila mengenai anak dengan
gangguan gizi dibanding anak tanpa adanya gangguan gizi. Pada saat ini,
penanganannya haruslah dilaksanakan sesegera mungkin, yaitu dimulai dengan
pemberian terapi sejak dari rumah, seperti pemberian oralit, asi yang tetap diberikan,
dan pemberian makanan lain yang tidak merangsang bertambahnya muntah mencret
tetapi dapat memenuhi kebutuhan anak.
4). Infeksi Saluran Nafas Akut
Penyakit ini merupakan penyakit tersering dijumpai pada anak
balita, baik yang hanya berupa pilek biasa sampai dengan adanya infeksi pada
saluran nafas bawah, yaitu infeksi yang mengenai paru.
Imunisasi telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1956.
Dan mulai tahun 1977, upaya imunisasi diperluas menjadi program pengembangan
imunisasi dalam rangka pencegahan penularan penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi ( PD3I).
Pada saat ini, vaksin yang dapat digunakan dalam pencegahan
penyakit telah banyak beredar di Indonesia, dan hasil daya lindung yang
ditimbulkannya juga telah terbukti bermanfaat.
Sedihnya, sampai saat ini penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi masih merupakan masalah dan masih menimbulkan gangguan dalam proses
tumbuh–kembang anak, yang memberikan dampak negatif pada pembentukan anak yang
berkualitas.
Apabila pemberian imunisasi diberikan secara adekuat pada
masa bayi dan anak, semua kejadian ini tidak perlu terjadi.
Ada 4 strategi utama yang
diselenggarakan oleh tujuan MDGs untuk ini, yaitu :
1.
Menyediakan home care dan pengobatan yang tepat
waktu dan sesuai untuk komplikasi pada bayi baru lahir.
2.
Melaksanakan manajemen terpadu penyakit anak
untuk usia dibawah 5 tahun.
3.
Memperluas program imunisasi
4.
Pemberian makanan bergizi untuk bayi dan anak.
Pokok – pokok kegiatan imunisasi
Imunisasi Rutin
Kegiatan imunisasi rutin adalah kegiatan imunisasi yang
dilaksanakan pada periode waktu tertentu yang telah ditentukan. Berdasarkan
usia kelompok sasaran, imunisasi rutin dibagi menjadi :
1. Imunisasi
rutin pada bayi
2. Imunisasi
rutin pada wanita usia subur
3. Imunisasi
rutin pada usia anak sekolah
Vaksin untuk imunisasi rutin pada balita yang diwajibkan
adalah :
1.
BCG (diberikan sekali pada bayi usia 0–11 bulan)
2.
DPT (diberikan 3 kali pada bayi usia 2–11 bulan
dengan jarak waktu antara pemberian minimal empat minggu. Kemudian diberikan
lagi pada umur 18 bulan dan 5 tahun).
3.
Polio (imunisasi pertama kali dilakukan setelah
bayi lahir, dilanjutkan pada usia 2,4,6, dan 18 bulan. Yang terakhir, vaksin
polio diberikan saat berumur 4 hingga 6 tahun)
4.
Campak (satu kali pada bayi usia 9–11 bulan)
5.
Hepatitis B (diberikan tak lama setelahnya bayi
dilahirkan)
Imunisasi Tambahan
Komentar
Posting Komentar